Oleh :
Dr. Pardan Prasetyo, M.Pd, MM.
Direktur Buahati Islamic School Jakarta
Sering orangtua siswa berpesan kepada pihak sekolah agar mendidik anaknya supaya jadi anak yang sholeh dan rajin beribadah. Harapan fitrah ini memang satu hal yang diharapkan semua orangtua kepada anak kesayangannya. Mereka mungkin tak terlalu berharap anaknya secerdas Habibie atau seterkenal artis ternama, tapi mereka bahagia manakala anaknya sholeh dalam artian cerdas dan taat menjalankan perintah agamanya.
Spiritual Quetiont (SQ) atau kecerdasan spiritual merupakan simpul dari seluruh elemen kecerdasan dalam otak kita. Dari SQ inilah sumber kecerdasan berpikir, kreativitas dan problem solving yang dimiliki anak atau siswa. Dalam sebuah riset ilmiah modern dinyatakan bahwa ‘god spot’ ditemukan dalam sel-sel otak manusia. Artinya secara fitrah, kecerdasan spiritual itu dimiliki oleh setiap manusia dan berkembang sesuai dengan tingkat pemahamannya mengenai aktivitas ibadah dan keagamaan yang diyakininya.
Pakar multiple intelligence Howard Gardner memasukkan kecerdasan spiritual ini sebagai kecerdasan eksistensial.Yaitu kecerdasan atau kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Tiap orang tidak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya dan mencari jawaban yang terdalam. Pertanyaan itu antara lain: mengapa aku ada, mengapa aku mati, apa makna dari hidup ini, bagaimana kita sampai ke tujuan hidup. Begitu pun dengan siswa-siswa kita, mereka merasakan dan menanyakan hal-hal yang sama tentunya.
Anak yang menonjol dengan inteligensi eksistensial akan mempersoalkan keberadaannya di tengah alam raya yang besar ini. Mengapa kita ada di sini? Apa peran kita dalam dunia yang besar ini? Mengapa aku ada di sekolah, di tengah teman-teman, untuk apa ini semua? Anak yang menonjol di sini sering kali mengajukan pertanyaan yang jarang dipikirkan orang, termasuk gurunya sendiri. Misalnya, tiba-tiba ia bertanya, “Apa manusia semua akan mati? Kalau semua akan mati, untuk apa aku hidup?”. Mungkin itu kira-kira ragam pertanyaan yang ada di lubuk hati anak-anak yang memiliki daya kecerdasan spiritual yang mulai berkembang.
Pembiasaan Religiutas
Kecerdasan Spiritual yang dimiliki siswa diyakini berperan besar dalam menata kemampuan intelegensi dan emosinya. Seorang siswa yang daya spiritual tinggi akan terlihat lebih menghargai waktu dan belajar secara lebih ihsan (baik) karena merasa apa yang dilakukannya bernilai vertikal, ibadah. Sehingga dirinya termotivasi melakukan rangkaian ketaatan ibadah itu secara berkesadaran, tanpa paksaan dari siapapun. Kemampuan spiritualnya juga mampu membawa pada sikap empatik dan peduli yang didasari oleh keyakinan (value). Sehingga, siswa atau anak didik dengan spritiual quetiont-nya ini akan memjadi manusia yag sholeh, cerdas dan muslih (amar maruf nahi munkar).
Tentu saja, SQ yang dimiliki anak-anak kita harus senantiasa dipupuk dan dirawat dalam bi’ah atau lingkungan yang positif, dimana nilai-nilai keagamaan (Islam) menjadi warna keseharian sekolah atau rumah tangga kita. Sekolah berkarakter dengan penguatan SQ akan memiliki ragam program yang meningkatkan daya lejit kecerdasan spiritual para siswanya. Contoh pembiasaan tilawah Quran, sholat dhuha, zikir, puasa sunnah danlainnya. Rutinitas aktivitas ini bukannya hanya akan meningkatkan spiritualitas anak namun juga memicu ragam kecerdasan pada diri sang anak.
Sejatinya kecerdasan spiritual akan tumbuh subur jika kita sebagai orangtua atau guru mampu memberikan daya semangat dan daya keteladanan secara kontinyu kepada anak-anak. Amatlah mustahil mengharapkan anak-anak kita cerdas ibadah manakala diri kita tak mewujud pada karakter tersebut. Anak-anak sering menjadikan kita sebagai cermin kebaikan dan selalu menirunya. Sholeh dan cerdas hanya mungkin diraih saat anak memahami betul untuk apa mereka melakukan itu sehingga mereka menjadi being student, melakukan apa yang mereka nilai benar.
Pembiasaan ibadah yang dilakukan tentulah disesuaikan dengan tingkat pemahaman mereka. Anak-anak memiliki kesemangatan yang tingi jika situasi sekolah memang memunculkan semangat itu yang dapat dilihat dari program dan fasilitas ibadah yang tersedia. Guru-guru berkarakter yang tak kenal lelah mendidik dan mengajari rangkaian praktik ibadah juga menjadi titik penting agar bibit-bibit sholeh dan cerdas itu terus berkembang.
Ibarat investasi, pembiasaan religiutas ini akan semakin berguna manakala mereka besar dan menghadapi tantangan kehidupan yang lebih heterogen dan unpredictable. Oleh karena itu, kebiasaan-kebiasaan ibadah yang dilakukan sejak kecil baik dirumah atau di sekolah menjadi sebuah conditio sine quo non saat kita bervisi menjadikan anak-anak kita sholih dan cerdas. Tanpa itu, kata mission impossible menjadi layak kita ingat manakala pembiasaan ini diabaikan. Wallahu a’lam